Saya dikarunia oleh Tuhan
seorang anak wanita di kala usiaku telah senja, 37 tahun. Bukan karena sulit
mendapatkan tetapi karena saya terlambat memasuki usia pernikahan. Namun, saya
sangat bahagia mendapatkan seorang anak wanita yang begitu lembut, pendiam dan
penurut. Saya sebagai seorang ibu selalu
berpacu dengan waktu karena saya sudah memasuki pensiun ketika anak semata wayangku baru berusia 17
tahun. Apa yang harus dilakukan untuk
mendidik anak yang semata wayang ini menjadi anak yang mandiri dalam pendidikan,
sosial, emosi , serta menyelesaikan masalah-masalah dalam kesehariannya.
Mengatasi kendala ini saya dan anak memikirkan bagaimana mendapatkan pendidikan yang paling cepat dan mandiri. Keputusannya adalah belajar di luar negeri.
Semua aspek harus dipelajari anak dalam waktu singkat , itulah yang menjadi pertimbangannya.
Sebelum kelulusan SMA, semua
persiapan mental, phisik dan dokumentasi untuk belajar ke suatu perguruan
tinggi, telah kami tempuh. Melalui agen pendidikan, semua dokumentasi dapat
diselesaikan. Ketika kami akan berangkat ke Melbourne, kami baru menyadari
bahwa kami perlu seseorang yang dapat mendampingi kami untuk mempelajari segala
seluk beluk kota itu baik transportasi, mencari fasilitas seperti telephone
,internet dan lain. Sungguh beruntung seminggu sebelum keberangkatan kami
diperkenalkan oleh seorang teman, seorang mahasiswa yang telah lulus dan telah
bekerja di Melbourne. Karin, adalah pendamping kami ketika kami tiba di
Melbourne.
Apa yang menjadi bayangan tidak sesuai dengan kenyataan. Pelajaran pertama yang kami
temui di Melbourne, udara yang dingin segera menyergap tubuh kami, beruntung
kami sudah mempersiapkan diri dengan pakaian yang tebal. Persiapan pertama pun
di mulai, Karin telah membawa setumpuk brosur dari kereta api dan bus yang
merupakan moda transportasi yang sangat nyaman. Buat kami berdua, membaca salah
satu brosur jadual, jalur serta tempat2 sudah membingungkan. Kami berdua belum
mengenal nama tempat-tempat , kami mencoba memahami dulu untuk jalur tempat
dari apartemen saya menuju apartemen anak. Cukup 1 jalur khusus , kami pelajari
di hari pertama. Beruntung kami masih di dampingi oleh Karin pada hari pertama
hingga rasa takut kesasar tidak timbul dan merasa lebih nyaman.
Hidup sebagai mahasiswi
memperlukan seperangkat fasilitas seperti internet, telephone dan printer. Dengan pengetahuan internet yang terbatas,
saya dan anak mendatangi sebuah toko penyedia internet. Berbagai macam fitur
dan kontrak plan tersedia, saya dan anak mempelajari sebentar tapi apa yang
dipelajari sebenarnya kurang kami mengerti .
Kenapa? Pengetahuan kami untuk memilih fitur internet sesuai dengan
kebutuhan tidak kami pahami. Kami coba satu kontrak dengan Vidafone. Baru
sehari kontrak WIFI MOBILE INTERNET , ternyata tidak ada koneksi dari tempat
apartemen, walaupun ketika di toko dikatakan koneksi di tempat apartemen anak
saya sangat kuat. Dengan berat hati, kami harus membatalkan kontrak itu. Proses untuk pembatalan mudah, tapi kami
harus mencari penyedia internet yang lain. Akhirnya kami mendapatkan penyedia
internet TELSTRA .Fitur yang ditawarkan juga berbeda dengan penyedia internet
sebelumnya. Kembali kami harus belajar lagi mana yang sesuai dengan kebutuhan.
Akhirnya kami mengambil WIFI MOBILE 8GB.
Bukan hanya perangkat fasilitas
yang dipelajari, tetapi saya harus mempersiapkan Helsa dengan berbagai macam
ketrampilan sebelum saya meninggalkannya untuk kembali ke Indonesia. Ketika
Helsa di Indonesia, dia tidak pernah memasak, mencuci baju, berbelanja, pergi
ke bank. Pengalaman pertama Helsa untuk memasak nasi dengan "rice cooker". Dia
bertanya bagaimana mencuci berasnya, berapa takaran beras, air, bagaimana
mengetahui nasi sudah matang. Buat
pertama kali Helsa sudah berhasil menanak nasi.
Belajar mencuci baju dengan mesin cuci otomatis, kami mempelajari
bersama apa yang tertulis dalam manual, namun sebelum memulainya kami juga
harus memasukkan koin sebesar AUD 3 , cara memasukkan koin pun harus kami coba
sendiri. Akhirnya kami senang karena kami berdua berhasil memasukkan koin dan
mulailah proses pencucian. Demikian juga ketika pengeringan, kami mempelajari
berdua.
Berikutnya adalah pelajaran
untuk pergi ke bank. Saya hantar anak saya,bagaimana membuka rekening, menyetorkan
uang dan bagaimana mengambil uang melalui ATM, internet banking. Baginya inilah
pertama kali dia merasakan mempunyai uang dengan mengatur keuangan sendiri. Dia
mencoba mencatat berapa pemasukan, berapa pengeluaran, uang saku tiap minggu
harus tidak lebih dari yang diberikan.
Belanja bukan suatu
menyenangkan di luar negeri karena harganya semua cukup mahal, juga ketika kita
belanja, saya dan anak saya harus membawanya belanjaan yang cukup berat sambil
berjalan kaki, Di sana kami tidak ada pilihan untuk berjalan kaki . Jarak cukup
jauh dari pasar kembali ke apartemen.
Melangkah kembali ke Indonesia, meninggalkan anak untuk belajar mandiri, saya harus benar-benar tegar.
Tantangan pertama belajar
mandiri bagi anak saya segera terjadi, dia harus mengerjakan tugas-tugas kuliah .
Pemindaian dari tugas itu memerlukan kapasitas internet yang sangat besar.Anak saya sempat bingung bagaimana cara mengatasinya. Kami berkomunikasi melalui
Skype dan memberikan rekomendasi untuk mengupgrade internetnya. Bagi anak saya hal ini bukan hal yang mudah
kembali dia harus menjalankan perintah
upgrade dengan “sistem on line” yang baru pertama kali dia alami dan tidak dia
pahami. Belum lagi perangkat upgrade seperti modem, reuter harus dipasang
sendiri. Saya memahami kesulitan yang terjadi, kami berusaha belajar bagaimana
cara memasang perangkat modem dan meneruskan kepada anak saya untuk dapat dilakukan
sendiri.
Proses pembelajaran anak saya
adalah proses pembelajaran buat saya. Ternyata bukan hanya anak saya yang belajar
mandiri dari segala segi, saya pun harus belajar kembali untuk ikut dalam
pendampingan proses pembelajarannya. Semoga
proses pembelajaran kami berdua dapat lancar sampai selesai kuliahnya.