Rabu, 25 Juli 2012


Saya dikarunia oleh Tuhan seorang anak wanita di kala usiaku telah senja, 37 tahun. Bukan karena sulit mendapatkan tetapi karena saya terlambat memasuki usia pernikahan. Namun, saya sangat bahagia mendapatkan seorang anak wanita yang begitu lembut, pendiam dan penurut.  Saya sebagai seorang ibu selalu berpacu dengan waktu karena saya sudah memasuki pensiun ketika  anak semata wayangku baru berusia 17 tahun.  Apa yang harus dilakukan untuk mendidik anak yang semata wayang ini menjadi anak yang mandiri dalam pendidikan, sosial, emosi , serta menyelesaikan masalah-masalah dalam kesehariannya. Mengatasi kendala ini saya dan anak memikirkan bagaimana mendapatkan  pendidikan yang paling cepat dan mandiri.  Keputusannya adalah belajar di luar negeri. Semua aspek harus dipelajari anak dalam waktu singkat , itulah yang menjadi  pertimbangannya.

Sebelum kelulusan SMA, semua persiapan mental, phisik dan dokumentasi untuk belajar ke suatu perguruan tinggi, telah kami tempuh. Melalui agen pendidikan, semua dokumentasi dapat diselesaikan. Ketika kami akan berangkat ke Melbourne, kami baru menyadari bahwa kami perlu seseorang yang dapat mendampingi kami untuk mempelajari segala seluk beluk kota itu baik transportasi, mencari fasilitas seperti telephone ,internet dan lain. Sungguh beruntung seminggu sebelum keberangkatan kami diperkenalkan oleh seorang teman, seorang mahasiswa yang telah lulus dan telah bekerja di Melbourne. Karin, adalah pendamping kami ketika kami tiba di Melbourne.

Apa yang menjadi bayangan tidak sesuai dengan kenyataan. Pelajaran pertama yang kami temui di Melbourne, udara yang dingin segera menyergap tubuh kami, beruntung kami sudah mempersiapkan diri dengan pakaian yang tebal. Persiapan pertama pun di mulai, Karin telah membawa setumpuk brosur dari kereta api dan bus yang merupakan moda transportasi yang sangat nyaman. Buat kami berdua, membaca salah satu brosur jadual, jalur serta tempat2 sudah membingungkan. Kami berdua belum mengenal nama tempat-tempat , kami mencoba memahami dulu untuk jalur tempat dari apartemen saya menuju apartemen anak. Cukup 1 jalur khusus , kami pelajari di hari pertama. Beruntung kami masih di dampingi oleh Karin pada hari pertama hingga rasa takut kesasar tidak timbul dan merasa lebih nyaman.

Hidup sebagai mahasiswi memperlukan seperangkat fasilitas seperti internet, telephone dan printer.  Dengan pengetahuan internet yang terbatas, saya dan anak mendatangi sebuah toko penyedia internet. Berbagai macam fitur dan kontrak plan tersedia, saya dan anak mempelajari sebentar tapi apa yang dipelajari sebenarnya kurang kami mengerti .  Kenapa? Pengetahuan kami untuk memilih fitur internet sesuai dengan kebutuhan tidak kami pahami. Kami coba satu kontrak dengan Vidafone. Baru sehari kontrak WIFI MOBILE INTERNET , ternyata tidak ada koneksi dari tempat apartemen, walaupun ketika di toko dikatakan koneksi di tempat apartemen anak saya sangat kuat. Dengan berat hati, kami harus membatalkan kontrak itu.  Proses untuk pembatalan mudah, tapi kami harus mencari penyedia internet yang lain. Akhirnya kami mendapatkan penyedia  internet TELSTRA .Fitur yang ditawarkan juga berbeda dengan penyedia internet sebelumnya. Kembali kami harus belajar lagi mana yang sesuai dengan kebutuhan. Akhirnya kami mengambil WIFI MOBILE 8GB.

Bukan hanya perangkat fasilitas yang dipelajari, tetapi saya harus mempersiapkan Helsa dengan berbagai macam ketrampilan sebelum saya meninggalkannya untuk kembali ke Indonesia. Ketika Helsa di Indonesia, dia tidak pernah memasak, mencuci baju, berbelanja, pergi ke bank. Pengalaman pertama Helsa untuk memasak nasi dengan "rice cooker". Dia bertanya bagaimana mencuci berasnya, berapa takaran beras, air, bagaimana mengetahui nasi sudah matang.  Buat pertama kali Helsa sudah berhasil menanak nasi.  Belajar mencuci baju dengan mesin cuci otomatis, kami mempelajari bersama apa yang tertulis dalam manual, namun sebelum memulainya kami juga harus memasukkan koin sebesar AUD 3 , cara memasukkan koin pun harus kami coba sendiri. Akhirnya kami senang karena kami berdua berhasil memasukkan koin dan mulailah proses pencucian. Demikian juga ketika pengeringan, kami mempelajari berdua.

Berikutnya adalah pelajaran untuk pergi ke bank. Saya hantar anak saya,bagaimana membuka rekening, menyetorkan uang dan bagaimana mengambil uang melalui ATM, internet banking. Baginya inilah pertama kali dia merasakan mempunyai uang dengan mengatur keuangan sendiri. Dia mencoba mencatat berapa pemasukan, berapa pengeluaran, uang saku tiap minggu harus tidak lebih dari yang diberikan.
Belanja bukan suatu menyenangkan di luar negeri karena harganya semua cukup mahal, juga ketika kita belanja, saya dan anak saya  harus membawanya belanjaan yang cukup berat sambil berjalan kaki, Di sana kami tidak ada pilihan untuk berjalan kaki . Jarak cukup jauh dari pasar kembali ke apartemen.
Melangkah kembali ke Indonesia, meninggalkan anak untuk belajar mandiri, saya harus benar-benar tegar.

Tantangan pertama belajar mandiri bagi anak saya segera terjadi, dia harus mengerjakan tugas-tugas kuliah . Pemindaian dari tugas itu memerlukan kapasitas internet yang sangat besar.Anak saya sempat bingung bagaimana cara mengatasinya. Kami berkomunikasi melalui Skype dan memberikan rekomendasi untuk mengupgrade internetnya.  Bagi anak saya hal ini bukan hal yang mudah kembali dia harus menjalankan  perintah upgrade dengan “sistem on line” yang baru pertama kali dia alami dan tidak dia pahami. Belum lagi perangkat upgrade seperti modem, reuter harus dipasang sendiri. Saya memahami kesulitan yang terjadi, kami berusaha belajar bagaimana cara memasang perangkat modem dan meneruskan kepada anak saya untuk dapat dilakukan sendiri.

Proses pembelajaran anak saya adalah proses pembelajaran buat saya. Ternyata bukan hanya anak saya  yang belajar mandiri dari segala segi, saya pun harus belajar kembali untuk ikut dalam pendampingan proses pembelajarannya.  Semoga proses pembelajaran kami berdua dapat lancar sampai selesai kuliahnya.